
Manten Pegon adalah salah satu tradisi pernikahan yang berasal dari
daerah Jawa Timur, khususnya di kawasan Pantura seperti Tuban, Lamongan, dan Gresik. Tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Arab, yang tercermin dalam pakaian, prosesi, hingga nilai-nilai religius yang menyertainya. Manten Pegon menjadi simbol keberagaman budaya yang hidup berdampingan dalam harmoni dan menjadi identitas unik masyarakat pesisir utara Jawa Timur.
Asal Usul dan Sejarah Tradisi Manten Pegon
Akulturasi Budaya Jawa dan Arab
Nama “Pegon” berasal dari kata “Arab Pegon”, yaitu aksara Arab yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Tradisi Manten Pegon sendiri muncul sebagai hasil percampuran budaya Jawa dengan budaya Arab, terutama setelah kedatangan para ulama dan pedagang Arab ke wilayah pesisir Jawa Timur pada abad ke-15 hingga 17.
Masyarakat Arab yang menetap di daerah pesisir menikah dan berbaur dengan masyarakat lokal. Proses asimilasi ini melahirkan bentuk baru dalam tradisi pernikahan, yaitu Manten Pegon. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi sebuah upacara sakral yang mencerminkan dua budaya dalam satu harmoni.
Perkembangan dalam Masyarakat Modern
Seiring waktu, Manten Pegon menjadi salah satu bentuk tradisi pernikahan adat yang tetap lestari, meskipun dunia terus berkembang dan berubah. Kini, tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat keturunan Arab, tetapi juga oleh masyarakat Jawa yang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya dan spiritualitas dalam pernikahan mereka.
Ciri Khas dan Prosesi Manten Pegon
Busana Pengantin Pegon yang Anggun dan Islami
Salah satu ciri utama dari tradisi Manten Pegon adalah busana pengantin yang digunakan. Pengantin pria biasanya mengenakan jubah panjang putih atau gamis, lengkap dengan sorban atau kopiah khas Arab. Sedangkan pengantin wanita mengenakan kebaya panjang atau abaya yang dihiasi dengan bordir khas dan berhijab.
Busana dalam tradisi ini menunjukkan kesopanan, kesucian, dan nuansa religius, sesuai dengan ajaran Islam, namun tetap memancarkan keanggunan budaya Jawa. Warna putih atau warna-warna netral seperti krem dan emas sering digunakan untuk menonjolkan nuansa sakral dan suci dalam pernikahan.
Rangkaian Acara Penuh Makna
Prosesi Manten Pegon terdiri dari beberapa tahapan penting, seperti:
Midodareni: Malam sebelum akad, di mana pengantin wanita dipingit dan diberi nasihat oleh orang tua dan tokoh agama.
Ijab Kabul: Proses akad nikah yang dilakukan secara Islami dengan bahasa Arab dan kadang disisipkan dalam bahasa Jawa.
Panggih: Pertemuan antara mempelai pria dan wanita, diiringi doa dan sholawat.
Arak-arakan: Biasanya dilakukan setelah akad, pengantin diarak keliling kampung atau menuju tempat resepsi, diiringi dengan rebana atau hadrah.
Yang menarik, musik pengiring seperti hadrah dan sholawat menjadi bagian penting dalam prosesi ini, menggantikan gamelan yang biasa digunakan dalam pernikahan Jawa. Ini menunjukkan pengaruh budaya Arab-Islami yang kuat dalam tradisi ini.
Makna dan Nilai Filosofis Tradisi Manten Pegon
Menjunjung Tinggi Nilai Religius
Tradisi Manten Pegon sangat kental dengan nilai-nilai Islami. Seluruh rangkaian acara dilaksanakan dengan niat ibadah dan penuh kekhusyukan. Doa-doa, lantunan sholawat, serta penggunaan busana syar’i menandakan bahwa pernikahan bukan sekadar perayaan, tetapi juga ikatan suci yang diberkahi oleh Tuhan.
Nilai religius ini menjadi pondasi penting dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dalam tradisi ini juga diajarkan tentang kesetiaan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap orang tua dan pasangan.
Simbol Persatuan Budaya
Tradisi Manten Pegon juga adalah simbol harmonisasi antar budaya. Dengan mengintegrasikan unsur-unsur budaya Arab dan Jawa, tradisi ini menjadi contoh yang jelas bahwa keragaman tidak menghalangi kekayaan budaya, malah memperkaya dan memperkuat persaudaraan. Manten Pegon mengajarkan makna toleransi, keterbukaan, dan penghargaan terhadap budaya lainnya.