
Tradisi Basaru dan Bebandih adalah bagian dari warisan budaya yang
datang dari masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Tradisi ini memiliki arti simbolis yang sangat mendalam sebagai wujud pembersihan diri, baik fisik maupun spiritual. Walaupun sering dilaksanakan menjelang bulan suci Ramadan, Basaru dan Bebandih juga diadakan pada momen-momen penting lainnya, seperti sebelum pernikahan, kelahiran, atau setelah sembuh dari penyakit yang berat.
Tradisi ini tetap dilestarikan karena diyakini mendatangkan berkah, keselamatan, serta memperkuat ikatan sosial dan spiritual antarwarga.
Makna dan Filosofi Tradisi Basaru dan Bebandih
Basaru: Mandi Pembersih Diri Sebelum Memulai Kehidupan Baru
Basaru berasal dari kata “saruan” atau “basaruan” dalam bahasa Banjar, yang berarti membersihkan diri secara lahir dan batin. Tradisi ini dilakukan dengan cara mandi menggunakan air yang telah dicampurkan dengan bunga-bungaan dan daun-daunan tertentu yang dianggap memiliki energi positif.
Umumnya, Basaru dilaksanakan secara ritual oleh seorang tokoh adat, ulama, atau orang tua yang dihormati. Air yang digunakan untuk mandi telah diberi doa atau bacaan ayat suci agar memberikan pengaruh spiritual bagi orang yang melakukannya.
Bebandih: Membersihkan Diri Secara Fisik dan Energi Negatif
Berbeda dengan Basaru yang lebih bersifat spiritual, Bebandih memiliki nuansa fisik yang kuat. Kata “bebandih” sendiri berasal dari kata “bandih,” yaitu air cucian beras yang dipakai untuk mandi. Bebandih biasanya dilakukan sebelum Basaru sebagai tahapan awal untuk membersihkan tubuh dari kotoran dan energi negatif.
Air cucian beras yang digunakan diyakini mengandung zat pembersih alami dan secara simbolik dianggap dapat menyerap segala hal buruk yang melekat pada tubuh manusia, termasuk penyakit, kesialan, atau pengaruh jahat.
Rangkaian Tradisi Basaru dan Bebandih
Persiapan Air dan Bahan-Bahan Alami
Sebelum upacara dimulai, keluarga akan menyiapkan air dengan rempah dan bunga seperti daun pandan, bunga kenanga, bunga melati, dan daun sirih. Untuk Bebandih, digunakan air cucian beras pertama yang selanjutnya dicampur dengan daun-daunan penyegar.
Air tersebut kemudian diletakkan dalam tempayan atau baskom besar. Masing-masing anggota keluarga atau orang yang akan menjalani ritual diperbolehkan mandi atau disiram menggunakan air tersebut oleh orang tua atau tokoh adat.
Doa dan Penyiraman
Prosesi dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh seseorang yang dituakan atau pemuka agama. Setelah doa, air Bebandih digunakan terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Basaru menggunakan air bunga. Orang yang dimandikan biasanya dalam posisi duduk bersimpuh, menerima air dengan penuh khidmat.
Penyiraman biasanya dilakukan tiga kali sebagai simbol penyucian dari segala keburukan, dengan harapan mendapatkan keselamatan dan berkah dalam menjalani fase kehidupan yang baru.
Penutup dan Jamuan Keluarga
Setelah prosesi selesai, biasanya diakhiri dengan makan bersama atau jamuan ringan. Tradisi ini tidak hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga memperkuat hubungan antaranggota keluarga dan warga sekitar.
Nilai Budaya dan Relevansi di Era Modern
Tradisi Basaru dan Bebandih mengajarkan nilai-nilai penting mengenai pembersihan jiwa, introspeksi, serta persiapan diri yang matang sebelum menghadapi peristiwa besar dalam hidup. Meskipun tampak sederhana, makna di balik air dan bunga yang digunakan sangat mendalam: hidup yang bersih, jiwa yang tenang, dan hubungan yang harmonis dengan Tuhan dan sesama manusia.
Di tengah kehidupan modern yang cepat, tradisi ini berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya memperlambat tempo, merenungkan diri, dan memulai segala sesuatu dengan penuh keikhlasan. Banyak keluarga Banjar yang masih mempertahankan tradisi ini, bahkan menggabungkannya dengan elemen-elemen modern, seperti menjadikan Basaru sebagai bagian dari upacara pernikahan atau acara adat resmi.